Pendidikan Karakter

PENDIDIKAN KARAKTER:
Penting, Tapi Tidak Cukup!
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS/Ketua Program Studi Pendidikan Islam,
Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)
*****
“Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talents are to some
axtent a gift. Good character, by contranst, is not given to us. We have to build it peace by
peace – by thought, choice, courage and determination.” (John Luther, dikutip dari Ratna
Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007).
“Oleh sebab wujudmu belum masak,
Kau menjadi hina-terlempar
Oleh sebab tubuhmu lunak,
Kau pun dibakar orang,
Jauhilah ketakutan, duka dan musuh hati,
Jadilah kuat seperti batu, jadilah intan.”
(Dr. Moh. Iqbal, dari puisi bertajuk “Kisah Intan dan Batu Arang”, terjemah Kol. Drs.
Bahrum Rangkuti dalam buku Asrari Khudi, Rahasia-Rasia Pribadi, (Jakarta: Pustaka Islam,
1953).
*****
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah
mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SDPerguruan
Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu
dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas,
maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan
karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat
berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed),
Sabtu (15/4/2010).
Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi.
Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun
manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal,
karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak
cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.
Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan,
tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak
diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan
jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan
di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar
dalam kertas soal ujian.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian, dan teknikteknik
menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 2
berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria; malu berbuat curang; malu bersikap
malas; malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi
harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Di sinilah bisa kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara praktik pendidikan
dengan karakter peserta didik. Bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang
memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar
disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan
mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang
unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan
dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam bukunya yang berjudul, Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10),
Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak memiliki
pribadi yang unggul:
”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan
diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan
orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk
mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari pada
kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa
dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan
menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.”
Budayawan Mochtar Lubis, bahkan pernah memberikan deskripsi karakter bangsa
Indonesia yang sangat negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977,
Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut: munafik,
enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter,
cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar Lubis
mendeskripsikan ciri-ciri utama manusia Indonesia:
1. “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias
MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri
utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatankekuatan
dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau
dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat
ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”
2. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung
jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya.
“Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
3. “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu
tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia
Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin
berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya
takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia
percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan,
keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur
hubungan khusus dengan ini semua…”
“Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura,
Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata
dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 3
pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
5. “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat.
Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan
keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia
mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual
amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
6. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpestapesta.
Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah,
mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf,
singkatnya segala apa yang serba mahal.”
“Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah
mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya
segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi
priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian
merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
Tentu, silakan tidak bersetuju dengan pendapat Mochtar Lubis!
*****
Banyak pendidik percaya, karakter suatu bangsa terkait dengan prestasi yang diraih
oleh bangsa itu dalam berbagai bidang kehidupan. Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya,
Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan,
bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-
an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing
the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang
melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit
of the mind, heart, and hands.
Dr. Ratna Megawangi termasuk salah cendekiawan yang sangat gencar
mempromosikan pendidikan karakter, melalui berbagai aktivitas dan tulisannya. Pendidikan
karakter by definition adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui
pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah
laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan
sebagainya (Thomas Lickona, 1991). Aristoteles, kabarnya, juga berpendapat bahwa karakter
itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku.
Russel Williams, seperti dikutip Ratna, menggambarkan karakter laksana “otot”, yang
akan menjadi lembek jika tidak dilatih. Dengan latihan demi latihan, maka “otot-otot”
karakter akan menjadi kuat dan akan mewujud menjadi kebiasaan (habit). Orang yang
berkarakter tidak melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi karena
mencintai kebaikan (loving the good). Karena cinta itulah, maka muncul keinginan untuk
berbuat baik (desiring the good).
Pemimpin Cina, Deng Xiaoping, pad atahun 1985 sudah mencangkan pentingnya
pendidikan karakter: Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear
in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or
woman of character and cultivating more constructive members of society. Li Lanqing,
mantan wakil PM Cina, dalam bukunya, Educations for 1.3 Billion, menjelaskan reformasi
pendidikan yang dijalankan di Cina. Ia menulis: After many years of practice, character
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 4
education has become the consensus of educators and people from all walks of life across this
nation. It is being advanced in a comprehensive way.”
Menurut Ratna Megawangi, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua
aspek dimensi manusia, sehingga tidak sesuai dengan sistem pendidikan yang terlalu
menekankan pada aspek hafalan dan orientasi untuk lulus ujian. Dalam bukunya, Pendidikan
Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010), Doni Koesoema Albertus
menulis, bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang
berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan
pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau
pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi
motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.
Tetapi, Doni yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia,
agama tidak dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam
sebuah masyarakat yang plural. ”Di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai
agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi
kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks
masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka
yang lemah,” tulisnya.
Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam
membantu mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu
tata sosial yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan
bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai
moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis
yang bersifat dinamis dan dialogis.
Dalam pandangan Islam, pandangan sekularistik Doni K. Albertus semacam itu, tentu
tidak dapat diterima. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk
karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat
Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik
bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural. Memang ada pengalaman sejarah
keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam.
Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa
bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan
terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab,
semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa
diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama
mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing.
Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia
memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya.
Indonesia bukan tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi,
pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran
Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral
Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai
hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek
pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu! Padahal, program
pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan
’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!
Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan
dan peraturan. Ide UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 5
bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orang tua. Guru tidak
berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah
bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu! Bukan
tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku
seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.
*****
Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan
ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara
bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan
“pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru
yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas
formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan.
“Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil
mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi
contoh bagi murid-muridnya.
Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam
pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi
memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School)
di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia dirikan
Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru
dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan
pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak
tempat sekolahnya.
Disamping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama
kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar
agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas
permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah
Shalat).
Kisah Natsir dan sederet guru bangsa lain sangat penting untuk diajarkan di sekolahsekolah
dengan tepat dan benar. Natsir adalah contoh guru yang berkarakter dan bekerja keras
untuk kemajuan bangsanya. Ia adalah orang yang sangat haus ilmu. Cita-citanya bukan untuk
meraih ilmu kemudian untuk mengeruk keuntungan materi dengan ilmunya. Tapi, dia sangat
haus ilmu, lalu mengamalkannya demi kemajuan masyarakatnya.
Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui
sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus
Membawa Hanyut”, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia,
yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir
menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan prakemerdekaan.
Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai
pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir
menulis:
“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan
anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun
telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan
sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 6
pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil
keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Tak ada semangat dan
keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan
mencari cita-cita yang diluar dirinya...”
Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa,
khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar
yang disegani di dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi
teladan bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan
kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, ”Salah satu penyakit bangsa
Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lebih
jauh, kata Natsir:
”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang
”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama
(kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhirakhir
ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam
masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam
akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa
kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”
*****
Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya.
Berdasarkan survei, separoh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk
fakultas kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom,
ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk
mengeruk kekayaan, maka dia akan melihat biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai investasi
yang harus kembali jika dia lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan
pekerjaannya, tetapi karena berburu uang!
Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru
sejati” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap
hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan
mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis,
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.
Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius.
Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para
pejabat lainnya harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM,
tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup
sederhana dan mobil-mobil mereka – yang dibiayai oleh rakyat – adalah mobil impor dan
sama sekali tidak hemat.
Pada skala mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah, pesantren,
rumah tangga, juga Kantor Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Dari atas
sampai ke bawah, dan sebaliknya. Sebab, guru, murid, dan juga rakyat sudah terlalu sering
melihat berbagai paradoks. Banyak pejabat dan tokoh agama bicara tentang taqwa;
berkhutbah bahwa yang paling mulia diantara kamu adalah yang taqwa. Tapi, faktanya, saat
menikahkan anaknya, yang diberi hak istimewa dan dipandang mulia adalah pejabat dan yang
berharta. Rakyat kecil dan orang biasa dibiarkan berdiri berjam-jam mengantri untuk
bersalaman.
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 7
Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan,
ketimbang ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, Pendidikan
Karakter yang diprogramkan Kementerian Pendidikan hanya akan berujung slogan!
*****
Tidak cukup!
Jika bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya orang
komunis yang berkarakter dengan orang muslim yang berkarakter? Orang komunis, atau
ateis, bisa saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab,
mencintai kebersihan, dan sebagainya. Orang muslim juga bisa seperti itu. Dimana letak
bedanya?
Bedanya pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan
hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan
beradab. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, misalnya, dalam kitabnya, Ādabul
Ālim wal-Muta’allim, mengutip pendapat Imam al-Syafi’i yang menjelaskan begitu
pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Bahkan, Sang Imam menyatakan, beliau mengejar
adab laksana seorang ibu yang mengejar anak satu-satunya yang hilang.
Lalu, Syaikh Hasyim Asy’ari mengutip pendapat sebagian ulama: ”at-Tawhīdu yūjibul
īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā
syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā
ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari,
Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11).
Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya
iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat,
maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak
bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka
(pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.
Jadi, betapa pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Lalu, apa sebenarnya
konsep adab? Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof.
Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan
kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang
merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu;
pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan
pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia kerana yang satu
mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan
kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin, (ISTAC, 2001).
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat
Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini
dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana
mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang
shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika al-Quran
menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa (QS
49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada penguasa yang
zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Dalam masyarakat yang beradab,
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 8
seorang penghibur tidak akan lebih dihormati ketimbang pelajar yang memenangkan
Olimpiade fisika. Seorang pelacur atau pezina ditempatkan pada tempatnya, yang seharusnya
tidak lebih tinggi martabatnya dibandingkan muslimah-muslimah yang shalihah. Itulah adab
kepada sesama manusia.
Adab juga terkait dengan ketauhidan, sebab adab kepada Allah mengharuskan seorang
manusia tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan al-Khaliq
dengan makhluk merupakan tindakan yang tidak beradab. Karena itulah, maka dalam al-
Quran disebutkan, Allah murka karena Nabi Isa a.s. diangkat derajatnya dengan al-Khaliq,
padahal dia adalah makhluk. Tauhid adalah konsep dasar bagi pembangunan manusia
beradab. Menurut pandangan Islam, masyarakat beradab haruslah meletakkan al-Khaliq pada
tempat-Nya sebagai al-Khaliq, jangan disamakan dengan makhluq.
Itulah adab kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw adalah juga manusia. Tetapi,
beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia
saja tidak diperlakukan sama. Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus,
diberikan gaji yang lebih tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering disanjung-sanjung, meskipun
kadangkala keliru. Orang berebut untuk menjadi Presiden karena dianggap jika menjadi
Presiden akan menjadi orang terhormat atau memiliki kekuasaan besar sehingga dapat
melakukan perubahan.
Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya, tentu saja
adalah dengan cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri
tauladan kehidupan (uswah hasanah). Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw,
maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama. Ulama adalah pewaris nabi. Maka,
kewajiban kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang benar-benar menjalankan
amanah risalah, dan siapa ulama ”palsu” atau ”ulama jahat (ulama su’). Ulama jahat harus
dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati sebagai ulama.
Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para umara. Maka, sangatlah
keliru jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan penguasa.
Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan
martabatnya. Ulama harusnya dihormati karena ilmunya dan ketaqwaannya, bukan karena
kepintaran bicara, kepandaian menghibur, dan banyaknya pengikut. Maka, manusia beradab
dalam pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa
ulama yang palsu sehingga dia bisa meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat
rujukan.
Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani, Thailand Selatan, (1856-1908), dalam
kitabnya Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir Abdullah), berpesan agar
seseorang mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Syekh Wan
Ahmad menyatakan : “Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis)
perhimpunan ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Supaya mengambil guna engkau
daripada segala adab dan hikmah.”
Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses
ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang
beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman,
kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada
seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga,
pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah
dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu
(ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali
h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m
Hal. 9
mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan
duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya,
Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw:
“Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan
Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid terkemuka Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, juga
menulis sebuah buku berjudul Al-Ilmu. Beliau mengutip ungkapan Abu Darda’ r.a. yang
menyatakan: “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad,
sesungguhnya ia kurang akalnya.” Abu Hatim bin Hibban juga meriwayatkan hadits dari
Abu Hurairah r.a., yang pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa masuk ke
masjid ku ini untuk belajar kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka ia laksana orang yang
berjihad di jalan Allah.”
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab
tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak
bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan
pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Lebih fatal lagi, jika
manusia yang tidak beradab itu kemudian merasa tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu.
Dengan adab inilah, seorang Muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya?
Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar keras?
Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi,
maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab. Jadi, setiap Muslim harus
berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia
beradab. Seharusnya, program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam
program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Itulah hakekat dari tujuan pendidikan, menurut Islam, yakni mencetak manusia yang
baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M.Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and
Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice
in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a
goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the
inculcation of adab…”
“Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab.
Tidak cukup seorang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya, tetapi dia tidak ikhlas
dalam mencari ilmu, enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan suka mengumbar
aurat dan maksiat. Pendidikan, menurut Islam, haruslah bertujuan membangun karakter dan
adab sekaligus!
Moh. Iqbal dengan indah menggambarkan sosok pribadi Muslim yang tangguh karena
ketundukannya kepada Allah:
“Biarlah cinta membakar semua ragu dan syak wasangka,
Hanyalah kepada yang Esa kau tunduk, agar kau menjadi singa.”
*****
(Disampaikan dalam diskusi sabtuan di INSISTS, 12 Juni 2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini